Jumat, 06 April 2012

Fastfood

Fastfood Jika punya waktu sedikit luang dan kebetulan Anda sedang berjalan-jalan di sekitar Sarinah Jl. Thamrin, Jakarta, berhentilah sejenak untuk memperhatikan sebuah restoran cepat saji (Fastfood) Mc Donald, niscaya Anda akan menemukan pemandangan yang lumayan kontras. Bukan pemandangan anak-anak jalanan yang menempelkan mulut dengan mata celong-nya di kaca tengah memperhatikan orang-orang didalam yang sedang makan ayam renyah dan seketika berhamburan masuk sesaat setelah yang didalam selesai makan untuk berebut sisa ayam dan kentang yang tidak dihabiskan, dan bukan pula wajah-wajah murung menahan lapar tatkala sisa ayam dan kentang yang diharap ternyata tak didapat.

Karena kalau soal itu, semestinya tak lagi menjadi wacana, tetapi langsung pada aksi yakni dengan berbagi kenikmatan kepada mereka. Yang ingin saya ajak untuk Anda perhatikan adalah pemandangan kontras dalam cara menyantap makanan cepat saji tersebut antara orang kita (lokal) dan para bule. Untuk diketahui, restoran cepat saji di areal tersebut memang menjadi salah satu tempat favorit para bule yang kebetulan lokasinya tidak jauh dengan Jl. Jaksa, tempat tinggal sementara para bule tersebut. Apa bedanya? Untuk mengetahui bedanya, mari kita pelajari dulu asal muasal keberadaan fastfood (apapun merk- nya).

Di AS, keberadaan fastfood sangat berkaitan dengan tingkat kesibukan manusia-manusia profesional yang sangat menghargai waktu mereka, sehingga sering kita dengar istilah “time is money” secara akrab. Tuntutan profesionalisme dan tingginya kinerja manusia-manusia disana menyebabkan mereka tak lagi menganggap makan sebagai sesuatu yang penting. Oleh karenanya, tak heran jika kemudian berkembang produksi pil pengganti makan, atau sereal yang mengandung vitamin sesuai dengan ukuran vitamin yang diperlukan oleh tubuh. Singkatnya, mereka tidak ingin membuang banyak waktu untuk sekedar menyiapkan makan, juga menyantapnya. Seiring dengan kondisi tersebut, bermunculanlah ide fastfood (apapun jenis dan merk-nya) yang memungkinkan para profesional tersebut tidak kehilangan waktu dan energi karena sudah ada yang menyiapkannya, juga tidak kehabisan waktu menyantap karena sifat dan jenis makanannya yang simpel (misalnya, McD, satu potong ayam dan segelas soft drink). Nah, Anda bisa lihat karena namanya fastfood (makanan cepat saji) yang khusus disediakan bagi mereka yang sangat menghargai waktu, maka mereka pun tidak pernah berlama-lama duduk di restoran tersebut, dan bahkan tidak sedikit yang membawanya ke mobil atau meja kerja mereka.
Namun coba Anda perhatikan, orang-orang kita (lokal) yang juga sangat menyukai makanan tersebut, justru mereka menjadikan restoran fastfood tersebut untuk tempat ngobrol dan kongkow-kongkow, bahkan kencan! Allah sering mengingatkan kita untuk senantiasa memperhatikan dan menghargai waktu. Sedemikian pentingnya waktu bagi manusia, sampai Allah pun bersumpah demi waktu. Beberapa awal Surat dalam Al Qur’an menyatakan pentingnya waktu, antara lain Demi Waktu (Ashar), Demi Waktu Subuh, Demi Waktu Dhuha, Demi Malam dan lain sebagainya. Kalau urusan makan pun orang-orang diluar Islam sedemikian menghargai waktu mereka, apatah lagi untuk hal-hal lain yang jauh lebih penting dan bermanfaat. Saya tidak ingin mengatakan bahwa mereka lebih baik dan unggul dalam segala hal, namun untuk hal satu ini, mungkin semestinya kita belajar bagaimana menghargai dan memanfaatkan waktu agar tidak terbuang sia-sia. Setiap manusia diberikan jatah waktu 24 jam sehari, tidak ada yang dilebihkan atau dikurangi.

Tapi kenapa ada manusia yang sukses dan tidak sedikit pula yang gagal, bisa jadi salah satu faktor keberhasilan seseorang meraih sukses (sebaliknya, juga menjadi salah satu faktor kegagalan) adalah bagaimana cara ia memanfaatkan waktunya dengan baik, efektif dan maksimal. Dari contoh makan diatas misalnya, terlihat jelas perbedaan cara pandang sebagian orang kita dan (juga sebagian) orang-orang profesional. Mereka menjadikan makan (dengan menggunakan waktu secara efektif) sebagai bagian dari faktor pendukung kesuksesan, sementara sebagian kita menempatkan ‘makan’ sebagai bagian dari nikmat hidup. Karena perbedaan cara pandang tersebut, itulah yang Anda saksikan di beberapa restoran fastfood, orang kita yang datang lebih awal dibanding orang-orang profesional itu, namun mereka yang jauh lebih awal keluar dari tempat tersebut. Dari kesalahan cara pandang terhadap makanan fastfood tadi, menimbulkan satu kesalahan pandangan terhadap visi kesuksesan. Kok bisa? Orang-orang profesional yang telah merengkuh kesuksesan (sekali lagi), karena mereka sangat memperhitungkan setiap detik waktu yang mereka punyai, itulah yang kemudian menjadikan ‘makan’ dimata mereka sebagai sesuatu yang harus sesegera mungkin diselesaikan. Satu hal yang menjadi patokan adalah, kesuksesan harus melalui jalan yang panjang, dan salah satu faktor pendukungnya adalah dengan memanfaatkan setiap detik waktu agar tidak terbuang percuma. Sedetik saja waktu terbuang tanpa makna, mereka akan merasa semakin panjang jalan yang harus ditempuh menuju kesuksesannya, semakin mahal harga yang harus ditebusnya guna meraih sukses yang dicitakannya. Allah dalam Al Qur’an Surat Al Insan ayat 23-25 mengajarkan kepada orang- orang beriman tentang proses atau tahap-tahapan meraih sukses. Allah menggambarkan tentang turunnya Al Qur’an yang berangsur-angsur. Seperti halnya Allah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa (Al Hadid:4), seharusnya kita belajar bahwa tidak ada sesuatu yang bisa diraih secara instan, serba cepat tanpa melalui tahap-tahap dan perjuangan menujunya. Maka dalam ayat ke-24 (Al Insan), Dia meminta manusia untuk bersabar (dalam menjalani) ketetapan Tuhan tersebut. Dan agar manusia senantiasa bahwa segala sesuatu itu atas kehendak-Nya, maka Dia memerintahkan kita untuk menyebut nama-Nya setiap saat. Kesuksesan, satu cita yang hanya bisa diraih dengan perjuangan, kesungguhan dan melewati berbagai tahap sebelum merengkuhnya. Tidak ada orang bermimpi kemudian bangun tidur diatas tumpukan emas berlimpah, atau juga orang yang hari ini masih luntang-lantung tanpa pekerjaan yang jelas, kemudian esok harinya sudah duduk di meja kerja seorang Direktur dan memimpin sebuah perusahaan besar. Ah, mungkin kita terlalu banyak makan mie instant sehingga pola pikir yang terbentuk pada diri kita adalah, segala sesuatu bisa terjadi dalam waktu singkat. Atau mungkin kita terlalu sering nongkrong di restoran fastfood? Wallaahu ‘a’lam bishshowaab.

(Bayu Gautama) eramuslim.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar